PN Gunungsitoli Pastikan Proses Hukum 4 Pelajar Sesuai UU SPPA: Penahanan Bukan Prioritas

Gunungsitoli, iNewsDeliRaya.id – Pengadilan Negeri (PN) Gunungsitoli menegaskan bahwa proses hukum terhadap empat pelajar SMA yang menjadi terdakwa dalam kasus perkelahian sesama teman sekelas tetap mengacu pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Pjs. Humas PN Gunungsitoli, Hengky Alexander Yao, didampingi panitera, menjelang sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi, Senin (2/6/2025).
“Kita tetap mengacu pada SPPA dan hari ini secara teknis masih pemeriksaan saksi-saksi,” tegas Hengky kepada awak media.
Meski dalam dakwaan jaksa disertakan juga Pasal 170 KUHP (pengeroyokan), Hengky menjelaskan bahwa SPPA mengatur hukum acara bagi anak, bukan pidananya. Artinya, penerapan pasal umum tetap diperbolehkan, namun proses persidangan wajib mengedepankan prinsip-prinsip peradilan anak.
“Boleh saja JPU menyertakan pasal pidana umum. Tapi untuk perkara anak, tetap kami jalankan sesuai SPPA,” jelas Hengky.
Keempat pelajar sempat ditahan saat sidang perdana, namun kini statusnya ditangguhkan. Hengky menegaskan, dasar penangguhan sesuai Pasal 32 Ayat 1 UU SPPA, yang menyatakan anak tidak boleh ditahan jika ada jaminan dari orang tua.
“Setelah proses diversi, orang tua keempat anak ini memberikan jaminan. Hakim mempertimbangkan bahwa mereka masih sekolah dan akan menghadapi ujian, maka penahanan ditangguhkan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, penjara bukan solusi utama dalam perkara anak. Ada alternatif lain seperti pengawasan, peringatan, hingga pengembalian ke orang tua.
Hal senada disampaikan Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M, akademisi dan praktisi perlindungan anak. Ia menekankan bahwa proses hukum terhadap anak harus menjunjung tinggi prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
“Penahanan terhadap anak adalah upaya terakhir. Kalau tidak ada kekhawatiran melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana, maka penahanan sebaiknya dihindari,” katanya.
Menurutnya, kekerasan memang tidak bisa dibenarkan, namun penyelesaiannya pun tidak boleh mengorbankan masa depan anak.
“Hakim harus bijak. Anak tetap bisa dimintai pertanggungjawaban, tapi prosesnya harus ramah anak dan tidak traumatis,” tandasnya.
Perkara keempat pelajar ini masih dalam tahap pembuktian. PN Gunungsitoli meminta publik dan media menghormati jalannya proses hukum dan tidak melakukan penghakiman di ruang publik.
Editor : Sadam Husin