DELI SERDANG, iNewsDeliRaya.id - Apa hukumnya bila istri ingin hubungan badan namun suami enggan memenuhinya? Selama ini yang banyak diketahui Muslim yakni kewajiban istri memenuhi kebutuhan biologis suami.
Bahkan ada hadis yang masyhur yakni bahwa apabila suami mengajak istri berhubungan, kemudian istri menolak padahal mampu melayani suami, maka ada ancaman yang cukup besar.
Pertanyaanya kini apakah ada ancaman yang sama bila suami menolaj ajakn istri berhubungan badan?
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya (untuk digauli), lalu sang istri tidak memenuhi ajakannya, lantas sang suami tidur dalam kondisi marah terhadap istrinya, maka malaikat melaknat sang istri hingga subuh” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ، هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang wanita tidur meninggalkan tempat tidur suaminya (yaitu tidak menemani suaminya), maka malaikat melaknatnya hingga pagi hari” (HR. Muslim).
Ustaz Raenul Bahraen menjelaskan, hadis-hadis di atas menjelaskan bahwa ancaman yang keras karena dampak dari penolakan itu juga sangat berbahaya, baik bagi suami maupun keberlangsungan rumah tangga. Sebagaimana diketahui, syahwat laki-laki itu sangat mudah terpacu dan apabila tidak disalurkan, bisa jadi dia menyalurkan di tempat lainnya yang tidak halal. Bisa jadi juga akan muncul rasa benci terhadap istrinya, terlebih sang suami berpikir akan selingkuh mencari wanita lain.
Muncul pertanyaan, bagaimana kalau sebaliknya yaitu istri yang mengajak suami berhubungan intim? Apakah suami wajib menunaikan ajakan istri? Apakah suami akan dilaknat juga apabila menolak?
Prof. Dr. Khalid Al-Muslih Hafidzahullah yang menjelaskan bahwa seorang suami tetap wajib menunaikan ajakan berhubungan intim istri apabila suami mampu saat itu dan istri memang sedang punya syahwat yang tidak bisa ditahan lagi.
Kecuali apabila suami tidak mampu saat itu dan istri mampu menahan sedikit karena umumnya syahwat istri itu tidak sebagaimana laki-laki. Beliau Hafidzahullah menjelaskan,
وأما امتناع الرجل عن امرأته إذا دعته فالذي يظهر أنه لا يجوز له ذلك إذا كان قادراً، وبالزوجة حاجة؛ لأنه خلاف ما أمر الله به من العشرة بالمعروف {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [النساء: 19]. وقد قال الله تعالى: {وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 228]، فدل ذلك على أن للزوجة من الحقوق نظير ما عليها، إلا ما دل الدليل على تخصيص أحد الزوجين به
“Suami yang menolak ajakan berhubungan intim istrinya, maka pendapat terkuat yang tampak bagiku bahwa suami tidak boleh menolak apabila dia mampu dan istri sedang sangat butuh. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah, yaitu agar bermuamalah terhadap istri dengan cara yang baik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS. An Nisa: 19)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa istri memiliki hal sebagaimana kewajibannya, kecuali ada dalil yang menunjukkan kekhususan hal tersebut antara suami-istri.”
Beliau menjelaskan bahwa ancaman hadis terhadap istri tidak bisa diterapkan secara total kepada suami, karena tidak bisa diqiyaskan dan ada perbedaan. Misalnya, suami perlu ada kemampuan (maaf, ereksi) untuk bisa melayani istri. Bisa jadi seorang suami sangat kecapekan atau sedang sakit sehingga tidak punya “kemampuan” untuk melayani istri. Perbedaan lainnya adalah syahwat laki-laki berbeda dengan wanita, di mana umumnya wanita tidak mudah cepat bergelora.
Beliau Hafidzahullah berkata,
أما شمول الوعيد الوارد في حديث أبي هريرة فمحل نظر؛ لأن النص جاء خاصاً في امتناع المرأة من زوجها، والقياس في مثل هذا ممتنع
“(Adanya pendapat bahwa) ancaman pada hadis dari Abu Hurairah tersebut mencakup (pada suami), perlu dikritisi karena nash itu khusus pada penolakan istri terhadap ajakan suaminya. Qiyas dalam kasus ini tidak diperbolehkan.”
Melansir laman Muslim or id disebutkan, para suami juga tidak boleh sampai menelantarkan istri dan tidak menunaikan hak syahwat istri sama sekali. Para wanita juga mempunyai syahwat. Bahkan tidak sedikit juga wanita yang memiliki “keinginan” yang lebih besar, bahkan tidak disangka-sangka oleh suami mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنما النساء شقائق الرجال
“Sesungguhnya wanita itu adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Ahmad, dinilai hasan lighairihi oleh Syu’aib Al-Arna’uth).
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menjelaskan,
:أنه إذا أتى أهله فقد أحسن إلى أهله، لأن المرأة عندها من الشهوة ما عند الرجل، فهي تشتهي الرجل كما يشتهيها، فإذا أتاها صار محسناً إليها وصار ذلك صدقة.
“Jika seorang laki-laki ‘mendatangi’ istrinya, hendaklah ‘berbuat baik’ kepadanya. Karena wanita memiliki syahwat sebagaimana laki-laki. Wanita juga mempunyai ‘keinginan’ sebagaimana laki-laki mempunyai ‘keinginan’. Jika dia mendatangi istri dengan ‘berbuat baik’ padanya, maka ini termasuk sedekah” (Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hadis ke-15).
Perhatikan juga hadis Abu Darda’ yang menelantarkan istrinya karena sibuk ibadah serta kurang memperhatikan hak istri, lalu ditegur oleh Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhuma,
إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya dirimu punya hak yang harus Engkau tunaikan. Tamumu punya hak yang harus Engkau tunaikan. Istrimu punya hak yang harus Engkau tunaikan. Berikan hak kepada masing-masing sesuai porsinya.”
Pernyataan Salman ini dibenarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh al-Albani).
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta