get app
inews
Aa Text
Read Next : Banteng Ngamuk, Megawati Perintahkan Kepala Daerah PDIP Tak Ikut Retreat ke Magelang

Belajar dari Kasus 4 Pulau: Ketika Netizen Menjadi Hakim

Jum'at, 13 Juni 2025 | 19:48 WIB
header img
Sekretaris DPD Projo Sumatera Utara M.H. Wahyu.

MEDAN, iNewsDeliRaya.id- Beberapa waktu lalu, ruang digital Indonesia kembali diramaikan oleh perdebatan panas seputar isu empat pulau yang disebut-sebut “diserahkan” dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara. Perbincangan ini tidak hanya menyita perhatian publik Aceh, tetapi juga menyulut emosi ribuan netizen di berbagai platform media sosial.

Dalam sekejap, nama Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menjadi sasaran amarah. Bahkan, keluarga beliau pun ikut diseret dalam pusaran caci maki yang tidak pantas.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai kearifan, patutlah kita berhenti sejenak dan merenungkan: Apakah kita sedang membiarkan media sosial berubah menjadi ruang pengadilan yang liar?

Asal Mula Isu

Isu bermula dari pemberitaan viral yang menyatakan bahwa empat pulau di perbatasan Aceh – yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang – telah “diambil” oleh Provinsi Sumatera Utara. Narasi yang berkembang menggiring opini bahwa ada upaya sistematis yang dilakukan secara diam-diam, tanpa partisipasi rakyat Aceh. Informasi ini menyebar begitu cepat, diikuti oleh ribuan komentar, video reaksi, bahkan ajakan untuk memboikot pemerintah.

Nama Bobby Nasution langsung dikaitkan dengan dugaan "pengambilalihan wilayah". Tak butuh waktu lama, kemarahan netizen meluas menjadi serangan terhadap pribadi dan keluarganya, termasuk kepada istri beliau, yang sejatinya tidak berkaitan langsung dengan isu tersebut.

Trial by Netizen: Fenomena Baru yang Berbahaya

Kita tengah menyaksikan apa yang disebut para ahli sebagai “trial by netizen” — penghakiman oleh publik dunia maya, yang dilakukan tanpa menunggu klarifikasi, apalagi proses hukum. Media sosial, yang sejatinya adalah ruang berbagi informasi dan aspirasi, perlahan berubah menjadi arena pengadilan terbuka yang liar, emosional, dan seringkali tidak adil.

Dalam ruang ini, praduga tak bersalah sering kali dikalahkan oleh hastag yang trending. Klarifikasi kalah cepat oleh narasi viral. Seseorang bisa dicap bersalah bukan karena fakta, melainkan karena persepsi yang dibentuk dalam sekejap.

Padahal, dalam negara hukum seperti Indonesia, keadilan ditegakkan melalui proses hukum yang sah dan adil, bukan berdasarkan tekanan atau opini yang terbentuk di media sosial.

Fakta yang Terungkap

Setelah gejolak mereda, pihak Kementerian Dalam Negeri akhirnya memberikan penjelasan: keempat pulau tersebut belum dipindahkan secara resmi. Proses yang terjadi masih berupa peninjauan ulang batas wilayah administratif berdasarkan regulasi lama yang sedang diperbarui. Tidak ada pengambilan wilayah secara sepihak, dan tidak ada keterlibatan langsung dari pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam proses tersebut.

Sayangnya, klarifikasi ini datang ketika kerusakan reputasi sudah telanjur terjadi. Nama baik seseorang, yang dibangun bertahun-tahun, bisa hancur dalam hitungan hari — hanya karena kesimpulan terburu-buru yang diambil tanpa dasar.

Pentingnya Literasi Digital dan Etika Publik

Kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara. Namun, kebebasan itu harus dijalankan dengan tanggung jawab dan etika. Menyebarkan kabar yang belum tentu benar, memaki seseorang di ruang publik, atau menyeret keluarga dalam isu yang tidak relevan, bukanlah bentuk keberanian, melainkan cermin rendahnya literasi digital dan empati sosial.

Sebagai masyarakat yang makin cerdas, mari kita belajar memilah informasi sebelum bereaksi. Mari kita biasakan untuk menunggu klarifikasi resmi, menyaring emosi, dan menjaga lisan – baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Penutup: Saatnya Menjadi Netizen yang Bijak

Kita tidak bisa membendung derasnya arus informasi digital. Namun, kita bisa mengendalikan cara kita menyikapinya. Jangan biarkan jari-jari kita menjadi senjata yang melukai, tetapi arahkanlah ia menjadi alat pencerdasan.

Isu empat pulau ini semoga menjadi pelajaran berharga: bahwa opini publik yang sehat dibangun dengan fakta, bukan dengan prasangka. Dan keadilan sejati hanya bisa tegak bila kita menolak menjadi hakim atas dasar kemarahan.

Rilis : M.H. Wahyu Sekretaris DPD Projo Sumatera Utara

 

Editor : Sadam Husin

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut